July 22, 2013

Selalu begitu.

The title sounds negative to me. But actually it doesn't. :)


Sering saya merasa letih dan jenuh dengan apa yang saya kerjakan secara reguler. Ada masa ketika beban hidup atau pekerjaan terasa begitu berat and all I want to do is running away. Pernah dengar ayat Al-Qur'an yang berbunyi "Inna ma'al 'usri yusraa"? Artinya yaitu, "Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan". Bersama lho. Bukan setelah.

Selalu begitu. Selalu ada hal indah dan menyenangkan yang belum tampak ketika kesulitan datang. Selalu saya menyesal karena hampir menyerah ketika kesulitan datang. Selalu saya lupa bersyukur dan berserah ketika kesulitan datang. Saya menulis di sini agar saya selalu ingat untuk bersyukur, berserah dan tidak want to run away. Semoga yang membaca tulisan ini bisa mendapatkan manfaat. Amin. :)

July 20, 2013

Nama Jalan dan Tempat yang Unik

Saya bertugas menyortir berkas yang masuk ke kantor. Berikut ini beberapa nama jalan atau tempat unik yang saya temukan di antara berkas-berkas yang saya baca:

1. Jalan Cumi-cumi, Kec. Kisaran Barat, Kab. Asahan.
2. Jalan Kepiting, Kel. Siko Ternate, M.
3. Jalan Pucuk Jagung, Aceh Utara, Aceh.
4. Jalan Tanah Tumbuh Lamo, Desa Empelu, Kab. Bungo.
5. Jalan Gereute, Aceh.
6. Jalan Joko Kandung, Blitar.
7. Jalan Padasuka, Kel. Sukamajukaler, Kec. Indihiang, Tasikmalaya.
8. Jalan Kotapiring, Tanjungpinang, Kepulauan Riau.
9. Jalan Kancil, Kec. Ulujami, Kab. Pemalang.
10. Sungai Sikambing, Medan.
11. Watukebo, Andongsari, Ambulu, Jember.
12. Kutu Asem, Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta.
13. Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.
14. Ayam Putih, Kebumen, Jawa Tengah.
15. Pulaumainan, Dharmasraya, Sumatera Barat.

July 12, 2013

Manipulasi

Tadi malam selepas tarawih, saya nyusu di kedai susu murni yang tidak terlalu jauh dari rumah. Daftar menu pun datang, membuat dahi berkerut berpikir keras akan pesan apa. Banyak sekali pilihannya. Haha. Setelah berunding cepat, saya putuskan ingin memesan menu susu cookies (kata Mas saya enak) ukuran M dan mencoba susu pisang ukuran L. Pelayan menghampiri kami, membacakan menu yang dipesan dan bilang, "susunya masih agak lama ya Mbak, baru direbus." Saat itu memang ramai pengunjung sih. Saya menunggu sambil ngemil nugget dan french fries.

Ternyata kami tidak perlu menunggu terlalu lama, dua gelas susu diantarkan ke meja dan langsung disruput bergantian. Susu cookiesnya memang enak. Tapi susu pisangnya malah membuat saya memikirkan sesuatu. Setelah revolusi industri dimulai, hingga berkembang sampai seperti industri (industri makanan secara spesifik) yang kita tahu saat ini, produsen telah berhasil mengembangkan perisa-perisa berbagai macam makanan. Agar-agar rasa durian, susu rasa jeruk, selai rasa stroberi dan lain-lain. Coba tenangkan diri, pikirkan apakah susu rasa jeruk itu berasa jeruk seperti jeruk yang pernah kamu makan? Selai stoberi, apakah stroberi yang kamu tahu rasanya seperti itu? Tidak.

Saya nggak ngerti persisnya bagaimana memanipulasi rasa sehingga indera pengecap dan indera penciuman kita bisa menerima hasil manipulasi itu. Saya bisa begitu saja menerima, oh susu ini berasa jeruk. Oh selai ini berasa stroberi. Oh jus ini berasa mangga. Rasanya kesal sekali saat memikirkan hal ini. Produk industri diterima secara luas karena praktis, rasanya enak dan kadang lebih murah daripada makanan yang terbuat dari bahan segar. Ooohhh kenapa bisa begini? Pangan organik jelas lebih mahal. Ayam kampung lebih mahal. Yang bersih dan sehat jadi mahal. :( :( :(

Camping Ramadhan at Pantai Pok Tunggal (July 7-8, 2013)

Photo taken by I-don't-know-who.

Saya sudah pernah ke pantai cantik ini. Dan akhirnya ada kesempatan untuk bisa lihat pantai ini lagi ketika ada ajakan dari teman-teman untuk mengadakan Camping Ramadhan. The title is just too much, hahaha. Oke ayok kita berangkat, mumpung belum mulai puasa. Janjian berangkat Hari Minggu tanggal 7 Juli dari rumah Ratna (aka Dek Na). Sampai Minggu pagi, kok adem ayem aja nggak ada kabar, padahal saya mustinya kebagian tugas belanja-belanji nih. Saya kontak Dek Na, ngajak bagi tugas buat belanja. Dek Na dapat tugas untuk beli paket makan malam, ubi, jagung dan printilannya. Sementara saya dapat tugas untuk beli sosis, mie instant dan ayam. Di pasar, setelah beli ayam, saya baru sadar bahwa saya nggak tahu harus pakai bumbu apa aja untuk mengungkep ayam.



"Ndenk, coba gugling bumbu ayam ungkep," saya minta tolong pada seorang teman.
"Nih," katanya sambil menyodorkan hape.


Saya males membandingkan resep itu dengan resep dari situs-situs lainnya. Ya udah deh pakai resep ini aja. Pede aja. Bawang merah, bawang putih, cabe, jahe, kunyit, lengkuas, ketumbar, sereh, daun salam dan daun jeruk. Plus gula dan garam pastinya. Di rumah, semuanya dibersihkan dan dituang ke blender. Biar cepet. Hehe. Diungkep, ditinggal beres-beres, packing dan mandi. Ternyata rasanya lumayan, edible dan bisa dimaklumi. Jam 1 siang berangkat ke rumah Dek Na. Dan jadwal berangkat pun molor secara fleksibel ke jam 4 sore.


Saya dan rombongan pun berangkat menuju Pantai Pok Tunggal. Saya masih ingat sebagian rutenya. Tapi ketika langit sudah gelap dan kami mulai memasuki jalan perkampungan, saya mulai lupa dan ragu rutenya. Saya berdoa dalam hati, semoga Google Maps bisa diandalkan di sini. Dan wow, wow banget untuk saya, Google Maps bener-bener menunjukkan rute yang sangat precise. Keren. Fyi, pantai ini lumayan blusuk-blusuk jalannya. Thanks to Google Maps.

Sesampainya di Pantai Pok Tunggal, kami disambut para petugas yang menjaga pantai. Kami dipandu mencari area kemah karena ternyata sudah ada beberapa tenda yang didirikan di sini. Kami berjalan ke arah barat, tapi tempat saya inginkan sudah ditempati. Saat itu kami berdiri di dekat pohon yang dipagari. Saya sudah di dekat pohon itu ada mesin pompa air. Di batangnya ada beberapa sesajen yang digantungkan.

"Nah kita di sini aja," usul saya.
"Jangan di sini Mbak, tidak boleh," kata bapak petugas yang memandu kami.
Saya penasaran. "Kenapa, Pak?"
"Yaa...memang tidak boleh Mbak." Raut wajahnya mengisyaratkan kalau ia tak mau menceritakan alasan tepatnya. Yaa begitulah kira-kira. You know what I think, don't you?

Kami pun berbalik dan berjalan ke arah timur, menuju pohon (entah jenis pohon apa) yang menjadi ikon pantai ini. Tapi ternyata sudah ditempati juga. Kami akhirnya mendirikan tenda di area yang masih dekat dengan pohon itu. Sebagian anggota camping mendirikan tenda dan sebagian lainnya menyiapkan makan malam. Sederhana saja, jagung manis, ubi, ayam dan sosis. Yang spesial adalah bintang-bintang yang mengedip mesra, ombak yang berdebur merdu ditingkahi petikan gitar dan teman-teman yang berdendang. Saya selalu suka berbaring di pantai dan memandang bintang. Blissful.

Ini foto pohon ikon Pantai Pok Tunggal. :)

PS: Cerita hari berikutnya akan menyusul, insyaAllah. :)

July 04, 2013

Goa Cerme (June 30, 2013)

"Dail ngajakin ke Goa Cerme," kata Mas saya. Itu awalnya. Oke fine. Kita berangkat.


Saya kenal Goa Cerme dari pendengaran saya (saya nggak tau kapan saya pernah denger, tapi saya yakin pernah) dan dari kebiasaan saya baca papan penunjuk arah. Saya sering baca papan yang menunjukkan arah ke Goa Cerme, but I really have no idea how is it. Saya baru sekali ke goa, Goa Pindul di Gunung Kidul, goanya tinggi dan dialiri air sungai, jarak dari permukaan air ke langit-langit goa mungkin sekitar 15 m (bukan seperti goa yang saya bayangkan semasa saya kecil, lorong batu yang bisa jadi tempat tinggal).

Pagi-pagi sebelum berangkat, saya coba gugling tentang Goa Cerme (saya kurang sreg kalo pergi ke suatu objek tanpa gugling dulu, hehe). Saya dapat informasi bahwa untuk mencapai mulut Goa Cerme kita harus menaiki tangga setinggi 759 m. Goa ini panjangnya 1,5 km dan digenangi air yang tingginya bisa mencapai 1,5 m (hah? bisa kelelep dong?). Well saya menyimpulkan kayaknya kunjungan ini nggak akan terlalu menguras tenaga dan saya pasti basah tapi nggak full basah.

Sekitar jam 09.30 saya dan teman-teman berangkat dari Krapyak Wetan. Nyampe Goa Cerme jam berapa ya lupa, haha, tapi nggak jauh kok, mungkin sekitar 30 menit aja. Menjelang lokasi, jalanan nanjak lumayan curam. Motor temen saya sempet bunyi nggak enak dan melorot ke bawah. Tapi itu emang motornya sih yang kurang fit. Beberapa menit kemudian kami sampai di pos petugas Goa Cerme. Bapak petugasnya menjelaskan bahwa objek wisata Goa Cerme ini berada di wilayah administrasi Kabupaten Bantul dan Gunung Kidul dan dikelola oleh keduanya. Jadi sekarang kita di Bantul dan nanti saat keluar dari goa  kita akan berada di Gunung Kidul. Sounds cool, hehe. Tapi tapi tapi, kondisi tersebut bikin tarif masuknya jadi double. Rp. 2,250,- dari Pemkab Bantul dan Rp. 2,500,- (yang ini saya agak lupa sih persisnya berapa) dari Pemkab Gunung Kidul. Pemandu (wajib) Rp. 30,000,- dan sewa headlamp Rp. 5,000,- (kami sewa 3 headlamp). Tas kami titipkan di pos petugas, yang kami bawa hanya 1 tas selempang berisi 1 botol air minum dan 2 ponsel yang dibungkus kresek.

Sebelum mulai, kami sempat foto-foto sebentar di mulut goa dan berdoa bersama. Oh iya, saya nggak tau mana tangga setinggi 759 m yang dimaksud dalam artikel yang saya baca saat gugling tentang Goa Cerme. Ada sih tangga, tapi pendek. Yak lanjut aja, dari mulut goa, kami menuruni beberapa anak tangga dan blupp, langsung ketemu air. Seinget saya, waktu itu tingginya sekitar selutut. Oh iya lagi, ada beberapa anak kecil yang ikut bersama rombongan kami, mereka ini penduduk sekitar goa, tapi ya takut (dan kayaknya memang nggak boleh) kalo nyusur goa tanpa pemandu.

Dasar goa ini kadang berupa kerikil lembut dan kadang berupa batu coklat yang agak tajam. Jadi saya sarankan pakai sandal yang aman (jangan pake sandal jepit) atau sepatu sekalian. Saya pake sandal yang bolong depannya, kalo kepentok batu rasanya lumayan nyuut nyuut. Di dalam goa, seperti biasa, ada stalaktit dan stalagmit. Seinget saya, stalaktit itu yang mengarah ke bawah, sedangkan stalagmit itu yang mengarah ke atas (pls comment kalo salah). Kalo liat tetes air yang menggantung di stalaktit, saya penasaran pengen nowel, tapi saya tau itu nggak boleh, jadi cuma saya tiup dikit sampai tetes airnya bergoyang, hehe. Di beberapa sudut goa, saya sempat lihat ada sesajen-sesajen. Menurut penjelasan pemandu kami, goa ini memang kadang dipakai untuk bersemedi. Lanjut jalan, ada bunyi grojog grojog air deras gitu. Semuanya langsung pada semangat maju, penasaran sama sumber bunyi itu yang kayaknya sih air terjun. And yes, memang air terjun. Tingginya sekitar 2,5 m. And guess what? Rute selanjutnya kita musti menaiki air terjun itu. Rasanya keren banget, hahaha. 

Beberapa menit kemudian, mulai ada yang nanya, "masih jauh nggak, Pak?" Udah mulai capek nih. Kami istirahat sebentar di air yang dangkal. Matiin headlamp dan sengaja ngobrol gelap-gelapan. Trus lanjut lagi, capek sih, mana kaki berasa bonyok karena sering nendang batu. Mendekati ujung goa, kami harus sering jalan merunduk karena langit-langit goa makin rendah. Duh kadang kejedot juga, haha. Tapi yah, seperti kata kakak sepupu saya, tenang aja, hal-hal yang berat itu pasti punya akhir kok. Dan akhirnya kami melihat cahaya selain cahaya headlamp. Cahaya matahari. Rasanya amazing. :-D

Keluar dari mulut goa, kami harus berjalan sedikit untuk bisa balik ke pos yang tadi. Lumayan sambil ngeringin baju. Hehe. Nyampe pos, kami pesan minum dulu sambil nyomot-nyomot gorengan secara tidak terkendali. Ada mbak-mbak minta kami ngisi kuesioner dari pemerintah tentang wisata goa. Saya isi dengan senang hati. Semoga bisa dibaca dan bermanfaat. Amin.

Selesai mandi dan shalat, kami pulang dan mampir makan Sate Klathak (satu porsi Sate Klathak dan minum seharga Rp. 13,000,-). Sedaaap. Lebih sedap lagi karena kami lumayan capek. Saya pun pulang ke rumah dengan hati yang senang dan perut yang kenyang. Hari Minggu yang indah. Alhamdulillah. :-D